Apa jadinya kalau seorang ibu tidak bisa mengatur emosi dan mulutnya? Oke. Selalu ada permakluman: ibu juga bisa capek, bisa kesel, bisa marah, bisa kelepasan, dsb. Lalu, mencoba tidak terlalu memikirkannya dan mencoba untuk memaafkan diri sendiri. Selesai. Adakah seorang ibu yang demikian sempurna dan tak lagi perlu belajar dalam prosesnya?
Selesai? Idealnya, mungkin iya: menerima kesalahan, memaafkan diri sendiri, berubah menjadi lebih baik dan berhati-hati lagi ke depannya. Artinya, setiap hal adalah pelajaran dan perenungan. Tapi mungkin penyesalannya tak akan pernah selesai secepat itu karena “memaafkan diri sendiri” dan menyadari manusia juga bisa berlaku salah bukanlah sesuatu yang mudah.
Satu contoh yang sudah saya lakukan. Sebuah hal memalukan karena saya kelepasan dalam mengontrol emosi. Terus terang saya bukan orang yang anggun, sopan, beradab, penuh etika, bla bla bla secara alami. Namun saya bisa tampil seperti itu secara kuantitas dan kualitas. Well-mannered adalah perilaku yang bisa dipelajari, bukan?
Saya mengenal banyak kata kasar seperti misalnya kata “bego”, “bodo”, atau “goblok”. Saya kadang mengucapkannya tapi itu bukan konsumsi harian, sepertinya misalnya, “Kamu mau jadi anak bodo?” Atau, saat berdiskusi private dengan suami mengenai sesuatu yang amat sangat mengesalkan saya bisa spontan komentar, “Goblok banget sih dia itu. Ngga bisa mikir apa?” Lalu suami akan koreksi, “Bisa ngga untuk tidak berkata kasar walaupun dia begitu?” Nah, saya selamat karena punya orang yang mengontrol ucapan saya. Walaupun kami hanya berdua saja. Demikian sebaliknya saat saya mengoreksinya. Semua adalah bagian untuk menjadi “lebih baik”.
Jujur saja, kata “goblok” sendiri bagi saya hidup dalam konteks. Dan saya bukan orang yang langsung ilfil kalau ada orang yang berkata “goblok”. Namun, jika itu sudah menjadi kebiasaan atau ekspresi emosi yang kasar, saya mungkin akan berpikir apakah mereka tidak bisa hidup lebih beradab?
Suatu hari saya sedang mengalami suasana hati yang sangat overload. Kepala rasanya mau pecah. Di saat seperti itu, saya menjemput anak saya pulang sekolah bersama asisten rumah tangga. Kebetulan hari itu anak sulung saya membawa kue ke sekolah karena dia berulangtahun. Kue itu disajikan bersusun, jadi saya berharap agar wadah penyusun kue yang baru saya beli sehari sebelumnya itu kembali.
Saya menunggu di dalam mobil saat saya meminta tolong Teteh untuk menjemput anak-anak dari gedungnya. Datanglah anak-anak dan mengabarkan bahwa wadah penyusun kuenya dibuang di tempat sampah sama OB. Meluaplah kepala yang dari tadi sudah mau pecah. “Ya Allah …. Goblok banget sih itu. OB-nya gimana? Ngga nanya dulu tempat segede itu? Gurunya gak simpen? Ayo cari dulu. Mungkin masih bisa diselamatkan. Masa sih bisa dibuang di tempat sampah?”
Akhirnya anak-anak dan Teteh kembali lagi untuk mencoba “menyelamatkan”. Saya tidak sempat turun karena konsentrasi saya ada pada email yang sedang saya baca. Hanya sekejab, mereka kembali lagi dengan wadah kue yang sudah ada di tangan. Ternyata masih bisa diambil di tempat sampah di atas sampah rumput. “Kenapa diambil kalau sudah di tempat sampah?” Saya makin jengkel. Di antara keruwetan pikiran saya akan hal lain, saya tiba-tiba menyadari bahwa urusan wadah kue adalah sepele dan toh saya bisa beli lagi. “Ditaruhnya di tempat sampah baru saja, Bun.” Jelas sulung saya. Sambungnya, “Masih bersih kok.”
Sambil masuk mobil, Teteh melapor, “Bun, masa Mas Haedar tadi bilang keras banget, ‘Nana, kata bunda gurunya goblok.’ Kemungkinan gurunya dengar, Bun. Saya langsung tarik Mas Haedar. Saya bingung mau bilangin ke gurunya kalau maksud Bunda ngga gitu.” Saya melongo. Muka saya seakan hilang.
Saya sangat kecewa sekali putra saya menangkap sesuatu dengan salah. Tapi, anak itu hanya berumur 6th. Saya yang salah. Saya tidak bisa mengontrol emosi hingga berkata kasar. Pertanyaannya kemudian, “Apakah saya bisa dengan mudah untuk tidak memikirkan kejadian itu, memaafkan diri sendiri, dan menganggapnya selesai?” Tidak.
Saya pusing berpikir, “Aduh, apa yang ada dalam pikiran gurunya?” Bukan soal “aduh, citra gue mati deh”. Ini soal “saya sebagai ibu yang terus menerus memperbaiki diri dan belajar menjadi ibu yang terbaik bisa kepeleset juga dan karenanya saya merasa gagal mengontrol diri sendiri.” Faktanya memang: tidak mudah berdamai dengan rasa bersalah. Yang ada apa? Penyesalan. Bisakah waktu diulang?
Saya kemudian mengirim pesan pada guru tersebut dan meminta maaf barangkali beliau mendengar kata-kata kasar saya dari Haedar dimana kalimat itu hanya penafsiran Haedar sepihak. Dan, saya juga mengatakan bahwa hal ini sangat menjadi perhatian saya. Apakah saya lantas merasa lapang? Tidak. Bayangkan seseorang yang merasa dikomentari, “Ah, kamu mah bisa-bisanya ngeles. Anak kan ‘apa adanya’.” Meskipun yang saya sampaikan adalah fakta, tapi apakah kita bisa mengontrol penilaian orang lain apapun argumentasi atau alasan yang kita berikan? Mustahil. Kata yang keluar dari mulut kita, tentu saja kita tidak lagi kuasa mengontrol apa saja imbasnya. Yang ada adalah: bagaimana agar kita bisa memperbaiki keadaan. Dan apakah –sekali lagi- waktu bisa diulang?
Sayalah yang harus belajar untuk memahami bahwa pengingat efektif agar mampu berkata baik di depan anak-anak adalah soal waktu dan tentu saja soal kepantasan. Bagaimanapun, anak-anak seharusnya jauh dari mendengar kata-kata kasar sebagai penambah kosakata sebelum mereka bisa memahami dan menggunakannya secara tepat nilai. Tentu saya tidak mau jika anak saya marah dia akan bilang, “Goblok sih kamu.” Betapa waktu itu sangat berharga. Ingat, penyesalan tidak pernah bisa diulang dan hanya orang bodoh yang akan jatuh di lubang yang sama terus-menerus.
Nah, demikianlah. Memang seorang ibu adalah manusia yang tidak sempurna, bisa salah, bisa kelepasan, dsb. Namun, menjadi hal yang sangat wajib –standar saya- untuk berbuat dan berkata baik sekuat mungkin demi pertumbuhan anak-anak yang sehat dan juga tentu saja demi perbaikan diri dari sekedar mudah memaklumi bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sempurna. Rasa bersalah adalah titik yang baik untuk melakukan instropeksi dan kemudian menerimanya untuk perbaikan di masa yang akan datang. Terima kasih, Anak-Anak. Kalian adalah guru buat Bunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar