Selasa, 24 Januari 2017

Haedar (6th) Mendapat Surat Cinta!



surat cinta pertama
source: chorbidokan.com




Saat menjemput putra saya yang duduk di kelas EL 1 (SD kelas 1), saya mendapat “informasi” bahwa putra saya (6th) mendapat surat cinta. Saya tertawa geli antara kaget dan takjub. Saat saya umur 6th, seingat saya tidak pernah terpikir soal cinta monyet. Sayangnya, saat saya menanyakan perihal surat tersebut kepada putra saya, dia menolak bercerita dan mengatakan bahwa dia sudah membuang surat tersebut.


Sesampainya di rumah, saya masih penasaran dan membujuk putra saya untuk menceritakan kejadiannya dan mencari tahu apa apa yang bisa ditulis dari seorang gadis kecil KG 2 (TK B). Setelah berhasil dibujuk, dengan malu-malu Haedar bercerita bahwa benar ia mendapat surat dari siswa KG 2 yang sudah lama naksir. Saya tertawa menerima kenyataan bahwa saya sedang membahas surat cinta bersama anak SD kelas 1.


Haedar menyatakan bahwa surat tersebut berisi tulisan “I Love You” dengan gambar hati yang di dalamnya terdapat bunga. Ia sudah membuangnya di tempat sampah. Dan dia marah kepada anak yang sudah memberinya surat karena menurutnya, gara-gara surat itu dia jadi malu. Saya menggelengkan kepala ke arah Haedar.


“Seharusnya Haedar tidak begitu. Haedar coba deh pikir. Bagaimana jika yang menulis surat itu adalah Bunda. Lalu Bunda kasih surat itu ke Ayah. Ayah marah sama Bunda dan membuang surat Bunda ke tempat sampah. Bagaimana perasaan Bunda?”


“Sedih.” Lirih suara Haedar.


“Nah, temanmu itu juga begitu. Lain kali, katakan ‘terima kasih’ sudah kasih surat. Katakan bahwa sebaiknya kita semua berteman karena kita masih anak-anak dan harus belajar. Haedar tidak perlu malu apalagi kesal. Bunda tidak suka Haedar menyakiti teman perempuan.”


Haedar mengangguk dengan sedikit tersenyum “ngga rela”. Tapi saya yakinkan dia bahwa dia harus selalu menghormati perempuan. Haedar juga harus mampu mengapresiasi keberanian orang yang menyampaikan perhatiannya. Siapapun itu.


Masalah selesai. Namun pikiran saya belum selesai: kok bisa ya anak-anak seumuran mereka berpikir tentang cinta? Saya pun mencari artikel tentang pandangan anak-anak soal “cinta”. Saya sebenarnya tidak panik dengan perasaan anak-anak itu. Apalagi berpikir terlalu jauh dan serius. Saya hanya perlu mencari tahu apa saja yang perlu saya perhatikan dan waspadai mengenai perkembangan pikiran mereka saat mereka bercerita tentang cinta.


Di sebuah artikel di Psychology Today yang saya baca mengenai pikiran anak tentang cinta yang ditulis oleh Hannah Bondurant, saya menemukan sebuah pemikiran yang menarik. Ia bertanya pada anak-anak yang duduk di Play Group dan Taman Kanak-Kanak dengan rentang usia rata-rata 3-5 tahun mengenai pendapat mereka tentang cinta. Jawabannya macam-macam: sesuatu yang spesial, hati, permen dan buah karena manis, saat anjingnya menciumnya, ayahnya, bayi, menolong, memeluk, balon,anak anjing, semua kebaikan, bahagia, bersama, ibu, dll. Tapi ada juga anak berumur 5 tahun yang menjawab agak panjang: cinta itu adalah saat kamu mencintai seseorang dan kamu tidak mau dia pergi … sesuatu yang membuatmu mengerjakan hal baik dan manis untuknya dan kamu tidak mengacuhkannya.


Saya sendiri langsung bertanya pada anak-anak saya tentang cinta menurut mereka.


Nana (9th): Cinta itu menyukai seseorang.


Haedar (6th): Cinta itu menikah.


Eliz (4th): Cinta itu love. Love itu cinta. Cinta itu love. –Begitulah jawaban dia jika pertanyaannya dibolak-balik-


Saya sependapat dengan Hannah bahwa berdasar pendapat mereka, anak-anak seusia pra-TK dan TK cenderung memiliki sebuah konsep –dalam hal ini “cinta”- berdasarkan obyek atau kejadian yang paling dekat dengan mereka. Mereka, misalnya, sangat sederhana mendefinisikan cinta seperti “balon”, “anak anjing”, “ayah/ibu”, dll. Seiring pertumbuhan otaknya, anak-anak akan mengembangkan konsep tersebut dengan mengkombinasikannya dengan ingatan dan perilaku seperti misalnya “cinta adalah saat kamu menolong orang lain”.


Beberapa tahun kemudian, pertumbuhan definisi ini tentu akan melibatkan emosi. Tentu saja, anak-anak akan mengembangkan pikiran dan emosinya sehingga cara mereka mendefinisikan cinta tidak hanya akan berdasar dari pendidikan yang diberikan namun juga pengalaman yang didapatkannya. Di sinilah pentingnya seorang pengasuh anak –dalam hal ini saya, ibunya- mengetahui bahwa ingatan dan perilaku yang baik atau buruk akan memengaruhi bagaimana seorang anak mampu mendefinisikan sebuah cinta. Bukan saja saya harus menciptakan kondisi yang “saling mencintai” antara saya dan anak-anak namun juga moral yang menyertai perasaan tersebut. Anak saya juga harus mendapatkan contoh perilaku dan pengenalan nilai kebaikan, kepantasan, dll.


Dialog yang sering dan juga berkualitas dengan anak-anak tentu akan membuat saya memahami sejauh mana anak saya memahami arti cinta. Barangkali memang jaman saya dan anak saya berbeda. Gempuran kata “cinta” dan berbagai contoh ekspresi cinta yang ada dewasa ini memang terasa lebih mudah kita temukan entah dari bacaan, tv, film, dll. Yang perlu saya gali tentulah sejauh mana pengertian tentang “cinta” oleh anak-anak dan juga kontrol moral seperti apa yang harus saya perhatikan. Saya tak perlu panik saat anak saya mendapat surat cinta atau bahkan membuat surat cinta di usinya yang masih belia.


Pertumbuhan anak “sesuai umurnya” sendiri tidak bisa diremehkan karena dalam artikel tersebut juga didapati seorang anak yang menjawab definisi “cinta” dengan cukup panjang dan detail dilihat dari umurnya yang baru 5 th. Barangkali dia sudah mengembangkan ingatan dan pengalaman yang cukup kompleks yang justru barangkali orang tua butuh lebih banyak waktu untuk mendengarkan dan memperhatikannya. Jangan sampai seorang anak memahami arti cinta secara keliru dan lalu mengekspresikannya secara keliru pula.


Wah, ternyata peran pengasuh terdekat anak-anak sangat penting ya …



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats